Thursday, February 14, 2019

Kanker dan Ibu Ani

4 hari yang lalu (10 Februari 2019) muncul di beranda saya kabar bahwa ibu negara tahun 2004-2013 sedang menjalani perawatan di rumah sakit di Singapura. Beliau didiagnosis mengidap kanker darah. Leukimia. Pertama kali saya melihat berita tersebut di feed YouTube saya, saya tidak langsung membuka. Saya pikir, “Oh, oke.” Jujur saja, siapa sih yang peduli ketika kita sendiri dalam masalah? Apalagi, ibu Ani bukan siapa-siapa kita. Beliau adalah ibu negara, iya, apakah kita pernah bertemu beliau? Tidak. Kita mungkin lebih familier dengan Paula dan Gigi, istri dari Baim Wong dan Raffi Ahmad yang tengah populer youtube channelnya.

Siapa sih ibu Ani ini bagi anak-anak millenial? Apakah perlu kita bersimpati atas apa yang dideritanya? Saya lebih sering tidak peduli dengan isu begini dahulu kala, bahkan juga sampai sekarang sepertinya (seperti yang terlihat dari reaksi awal saya). Lalu apa yang membawa saya untuk membawa hal ini di sini? Itu karena saya sedang bersimpati. Bukan karena diri saya sendiri, tapi karena teman kos saya membicarakannya. Mereka bersimpati dengan ibu Ani Yudhoyono.

Saya mungkin tidak benar-benar mengkhawatirkan beliau, tetapi masalah kanker yang hangat di sekitar saya ini memicu saya untuk bertanya-tanya. Apa kabar orang-orang yang terkena kanker dan tidak mempunyai cukup biaya untuk pergi ke Singapura berobat? Tidakkah kita peduli dengan mereka? Bukankah mereka ada? Kenapa tidak kita cari mereka dan kita bantu mereka? Tentu saja bersimpati untuk ibu Ani bukanlah sesuatu yang salah. tapi alangkah baiknya jika kita lebih membuka mata dengan kejadian serupa yang terjadi pada rakyat kecil ‘pumpung’ topik ini masih hangat? *)


Catatan: Tetangga saya menderita kanker payudara parah selama bertahun-tahun. Tidak pernah beliau dibawa ke rumah sakit. Mahal. Saya mendengar berita tersebut dari facebook ketika di kos, dan saya mengenali rumah beliau. Rumah tersebut bukan rumah permanen. Temboknya hanya sepinggang orang dewasa sementara sisanya adalah ‘gedeg’, anyaman bambu yang biasa digunakan sebagai dinding di desa. Sekarang hambur tidak ada orang yang mempunya rumah dengan gedeg, namun dengan ini, setidaknya pembaca mengetahui bagaimana kondisi ekonomi keluarga ini. Saya tidak mengetahui ini sampai saya berada di semester 5. Saya tinggal di luar kota selama hampir 7 tahun untuk bersekolah. Ketika saya pulang ke rumah setelah saya mendengar kabar tersebut, saya tanyakan ibu saya tentang tetangga tersebut. Beliau tidak tahu menahu. Yang ibu saya tahu adalah bahwa tetangga tersebut sakit. Bukankah ini menunjukkan betapa tidak pedulinya kita pada lingkungan sekitar? Sementara dunia mengumandangkan betapa mengenaskannya penyakit yang dialami orang-orang penting di luar sana, orang-orang yang bahkan tidak punya uang untuk mendiagnosis penyakit sedang bertahan di luar sana. Dan mungkin, ini adalah saat di mana kita harus mulai berpikir bagaimana cara untuk menyelamatkan orang-orang kecil ini karena nyawa di mana-mana sama pentingnya.

No comments:

Post a Comment